“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai ........” (QS. Ali-Imran : 103)
Keadaan ummat Islam yang sangat memprihatinkan, itu disebabkan karena kita, ummat Islam sudah meninggalkan pesan Rasulullah SAW yang merupakan pegangan kuat dalam hidup kita, yaitu :
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara; kalian tidak akan sesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada kedua perkara itu; Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Ibnu Abdil Bar).
Karena tidak berpegang teguh pada amanat Rasulullah SAW itu, maka timbullah khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pandangan dan pengertian) tentang ajaran Islam yang menjurus kepada perpecahan di kalangan ummat Islam. Sayangnya ada yang menganggap bahwa masalah khilafiyah itu adalah masalah kecil (tidak merusak aqidah, ibadah dan amal). Kemudia
Kemudian ada anjuran, malahan suatu keharusan supaya masalah khilafiyah itu dipeti-eskan saja untuk memelihara persatuan dan kesatuan? Bagaimana dengan peringatan Allah SWT : “Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai” (QS. Al- Hasyr : 14)
Bukankah dari dalam hati (aqidah) timbulnya persatuan yang dilandasi dengan rasa kasih sayang?
Allah SWT berfirman :
“.....janganlah kamu jadi golongan musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah (merusak) agama mereka, dan jadi-lah mereka beberapa golongan, merasa gembira/bangsa dengan agama yang ada pada mereka” (QS. Ar-Rum : 31-32).
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada seorang pun dari para Nabi yang diutus oleh Allah kepada ummatnya sebelum aku, kecuali baginya ada pembela-pembela dan sahabat-sahabat yang melaksanakan sunnahnya dan menaati perintahnya. Kemudian datang be-berapa generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka amalkan, dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan, maka barang siapa yang bersungguh-sungguh menyadarkan mereka dengan tangannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan mereka dengan lisannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan dengan hatinya, maka dia adalah seorang yang beriman. Selain itu, maka tidaklah ada padanya iman walaupun sebesar debu” (HR. Muslim).
Syekh Rasyid Ridla berkata :
“Tidak dapat ditegakkan (kemaslahatan) kecuali dengan da’wah. Dan da’wah tidak dapat berjalan kecuali dengan hujjah. Dan hujjah pun tidak ada artinya, jika sifat taqlid masih menguasai ummat” (Pembela Islam)
Jelaslah bahwa sifat merusak agama, baik dengan jelas menambah maupun menguranginya (bid’ah), amatlah berbahaya bagi orang-orang yang melakukannya dan bagi masyarakat Islam sendiri. Disinilah harus berlaku : “Saling nasehat-menasehati dalam soal-soal hak, dan saling nasehat-menasehati dalam soal-soal kesabaran”
Ada ulama berpendapat, bahwa khilafiyah itu adalah laknat, maka harus dijauhi. Pendapat seperti ini sama dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat seperti ini sudah tentu tidak benar. Bukan politiknya yang kotor, tetapi orangnya.
Demikian pula dengan khilafiyah. Bukan khilafiyahnya yang merupakan laknat, tetapi orang-orang yang menangani khilafiyah itu yang tidak dapat menempatkan dirinya pada tempatnya sehingga dia terus menerus merusak agama; jauh menyimpang dari apa yang sudah ditemukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini Allah SWT memperingatkan kita :
“Dan jika dikehendaki oleh Tuhanmu, tentu ia jadikan semua manusia menjadi ummat yang satu, tetapi mereka tetap berselisih. Kecuali orang yang mendapat rahmat (dikasihi) oleh Tuhanmu; karena untuk itulah Ia jadikan mereka dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu. Aku pasti akan memenuhi jahannam dengan jin dan manusia sekaliannya” (QS. Hud : 118-119)
Jelas dalam surat ini Allah menyatakan bahwa Ia akan menguji manusia dengan jalan mengadakan perbedaan pendapat, apakah mereka dapat menyelesaikannya dengan ikhlas.
Sebenarnya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu telah diatur oleh Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu. Maka sekiranya kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan Rasul jika kalian orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah sebaik-baik ta’wil” (QS. An-Nisa : 59)
MUJAHID
Seorang Mujahid ialah seorang pejuang : Manusia yang mempunyai idealisme, mempunyai keberanian dan keikhlasan dalam melakukan tugasnya. Yaitu orang yang mencurahkan segala kemampuannya dalam melaksanakan tugasnya dengan tujuan mendapat ridla Allah SWT, tentu akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, lahir dan bathin, dunia akhirat.
Kalau dia seorang prajurit, maka dengan penuh keberanian dia menghalau musuh dan memusnahkannya di medan peperang-an supaya negara dan bangsanya dapat hidup dengan aman dan tentram, menikmati keadilan dan rasa kemanusiaan. Kalau dia gugur dalam melaksanakan tugasnya itu, maka dialah yang merupakan orang yang mendapat tempat di sisi Allah di akhirat sebagai syuhada.
Allah SWT berfirman :
“Janganlah kamu katakan, bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. (Tidak!) Bahkan dia itu tetap hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (Qs. Al-Baqarah : 154)
Kalau Mujahid itu seorang ‘alim (ulama) dan berjuang dengan sekuat tenaga mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, serta mengajak manusia lain untuk menjadikan Al-Islam sebagai tuntunan hidup, maka dia adalah seorang pejuang (Mujahid Da’wah).
Allah SWT berfirman :
“Dan bukankah tidak ada orang yang lebih baik ucapannya selain dari pada manusia yang mengajak ke jalan Allah serta sambil berkata : Bahwasannya aku adalah dari orang-orang yang berserah diri kepada Allah” (QS. Fush Shilat : 33)
Tidak sedikit di antara orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan memusatkan perhatiannya di bidang da’wah, mendapat rintangan dan siksaan sehingga menemui ajalnya. Mereka pun gugur sebagai syuhada. Kalau mujahid itu seorang ahli politik dan lain sebagainya, maka mereka pun merupakan pahlawan-pahlawan (mujahid).
MUJTAHID
Menurut para ulama ahli ushul fiqh pengertian ijtihad ialah :
“Ijtihad itu ialah mengeluarkan segala kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amaly dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan Sunnah” (KH. Munawar Khalil)
Jelaslah, bahwa berijtihad itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk itu dibutuhkan antara lain :
a) Keikhlasan, semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT
b) Ilmu yang cukup untuk itu
c) Rasa kasih sayang sesama muslim
d) Ruh jihad yang membela agama Islam dari usaha orang-orang yang ingin merusak kesuciannya
e) Meyakini, bahwa tugas ini adalah tugas mulia untuk dapat mempersatukan ummat Islam dalam arti kata yang sesungguhnya
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Semoga rahmat Allah SWT dilimpahkan atas orang-orang yang merupakan penerus -penerusku, yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku” (Al-Hadits)
MUJADDID
Dengan semangat jihad seorang mujtahid akan menjadi seorang mujaddid, seorang yang memperbaharui ajaran Islam dengan arti : mengembalikannya kepada sunnah Rasulullah SAW dari penyimpangan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang telah dipengaruhi nafsu.
Mudah-mudahan kita, sebagai seorang muslim, sebagai hamba-hamba Allah yang mempunyai ketegasan sikap.
Dikutip dari : SUARA ISTIQAMAH
Jumadil Tsani 1417 H / Oktober 1996 M.
No comments:
Post a Comment