01 – Hai anakku: ketahuilah, sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam ke dalamnya. Bila engkau ingin selamat, agar jangan karam, layarilah lautan itu dengan SAMPAN yang bernama TAKWA, ISInya ialah IMAN dan LAYARnya adalah TAWAKKAL kepada ALLAH.
02 – Orang – orang yang sentiasa menyediakan dirinya untuk menerima nasihat, maka dirinya akan mendapat penjagaan dari ALLAH. Orang yang insaf dan sedar setalah menerima nasihat orang lain, dia akan sentiasa menerima kemuliaan dari ALLAH juga.
03 – Hai anakku; orang yang merasa dirinya hina dan rendah diri dalam beribadat dan taat kepada ALLAH, maka dia tawadduk kepada ALLAH, dia akan lebih dekat kepada ALLAH dan selalu berusaha menghindarkan maksiat kepada ALLAH.
04 – Hai anakku; seandainya ibubapamu marah kepadamu kerana kesilapan yang dilakukanmu, maka marahnya ibubapamu adalah bagaikan baja bagi tanam tanaman.
05 – Jauhkan dirimu dari berhutang, kerana sesungguhnya berhutang itu boleh menjadikan dirimu hina di waktu siang dan gelisah di waktu malam.
06 – Dan selalulah berharap kepada ALLAH tentang sesuatu yang menyebabkan untuk tidak menderhakai ALLAH. Takutlah kepada ALLAH dengan sebenar benar takut ( takwa ), tentulah engkau akan terlepas dari sifat berputus asa dari rahmat ALLAH.
07 – Hai anakku; seorang pendusta akan lekas hilang air mukanya kerana tidak dipercayai orang dan seorang yang telah rosak akhlaknya akan sentiasa banyak melamunkan hal hal yang tidak benar. Ketahuilah, memindahkan batu besar dari tempatnya semula itu lebih mudah daripada memberi pengertian kepada orang yang tidak mahu mengerti.
08 – Hai anakku; engkau telah merasakan betapa beratnya mengangkat batu besar dan besi yang amat berat, tetapi akan lebih lagi daripada semua itu, adalah bilamana engkau mempunyai tetangga (jiran) yang jahat.
09 – Hai anakku; janganlah engkau mengirimkan orang yang bodoh sebagai utusan. Maka bila tidak ada orang yang cerdik, sebaiknya dirimulah saja yang layak menjadi utusan.
10 – Jauhilah bersifat dusta, sebab dusta itu mudah dilakukan, bagaikan memakan daging burung, padahal sedikit sahaja berdusta itu telah memberikan akibat yang berbahaya.
11 – Hai anakku; bila engkau mempunyai dua pilihan, takziah orang mati atau hadir majlis perkahwinan, pilihlah untuk menziarahi orang mati, sebab ianya akan mengingatkanmu kepada kampung akhirat sedangkan menghadiri pesta perkahwinan hanya mengingatkan dirimu kepada kesenangan duniawi sahaja.
12 – Janganlah engkau makan sampai kenyang yang berlebihan, kerana sesungguhnya makan yang terlalu kenyang itu adalah lebih baiknya bila makanan itu diberikan kepada anjing sahaja.
13 – Hai anakku; janganlah engkau langsung menelan sahaja kerana manisnya barang dan janganlah langsung memuntahkan saja pahitnya sesuatu barang itu, kerana manis belum tentu menimbulkan kesegaran dan pahit itu belum tentu menimbulkan kesengsaraan.
14 – Makanlah makananmu bersama sama dengan orang orang yang takwa dan musyawarahlah urusanmu dengan para alim ulamak dengan cara meminta nasihat dari mereka.
15 – Hai anakku; bukanlah satu kebaikan namanya bilamana engkau selalu mencari ilmu tetapi engkau tidak pernah mengamalkannya. Hal itu tidak ubah bagaikan orang yang mencari kayu bakar, maka setelah banyak ia tidak mampu memikulnya, padahal ia masih mahu menambahkannya.
16 – Hai anakku; bilamana engkau mahu mencari kawan sejati, maka ujilah terlebih dahulu dengan berpura pura membuat dia marah. Bilamana dalam kemarahan itu dia masih berusaha menginsafkan kamu,maka bolehlah engkau mengambil dia sebagai kawan. Bila tidak demikian, maka berhati hatilah.
17 – Selalulah baik tutur kata dan halus budi bahasamu serta manis wajahmu, dengan demikian engkau akan disukai orang melebihi sukanya seseorang terhadap orang lain yang pernah memberikan barang yang berharga.
18 – Hai anakku; bila engkau berteman, tempatkanlah dirimu padanya sebagai orang yang tidak mengharapkan sesuatu daripadanya. Namun biarkanlah dia yang mengharapkan sesuatu darimu.
19 – Jadikanlah dirimu dalam segala tingkahlaku sebagai orang yang tidak ingin menerima pujian atau mengharap sanjungan orang lain kerana itu adalah sifat riya~ yang akan mendatangkan cela pada dirimu.
20 – Hai anakku; janganlah engkau condong kepada urusan dunia dan hatimu selalu disusahkan olah dunia saja kerana engkau diciptakan ALLAH bukanlah untuk dunia sahaja. Sesungguhnya tiada makhluk yang lebih hina daripada orang yang terpedaya dengan dunianya.
21 – Hai anakku; usahakanlah agar mulutmu jangan mengeluarkan kata kata yang busuk dan kotor serta kasar, kerana engkau akan lebih selamat bila berdiam diri. Kalau berbicara, usahakanlah agar bicaramu mendatangkan manfaat bagi orang lain.
22 – Hai anakku; janganlah engkau mudah ketawa kalau bukan kerana sesuatu yang menggelikan, janganlah engkau berjalan tanpa tujuan yang pasti, janganlah engkau bertanya sesuatu yang tidak ada guna bagimu, janganlah mensia siakan hartamu.
23 – Barang sesiapa yang penyayang tentu akan disayangi, sesiapa yang pendiam akan selamat daripada berkata yang mengandungi racun, dan sesiapa yang tidak dapat menahan lidahnya dari berkata kotor tentu akan menyesal.
24 – Hai anakku; bergaullah rapat dengan orang yang alim lagi berilmu. Perhatikanlah kata nasihatnya kerana sesungguhnya sejuklah hati ini mendengarkan nasihatnya, hiduplah hati ini dengan cahaya hikmah dari mutiara kata katanya bagaikan tanah yang subur lalu disirami air hujan.
25 – Hai anakku; ambillah harta dunia sekadar keperluanmu sahaja, dan nafkahkanlah yang selebihnya untuk bekalan akhiratmu. Jangan engkau tendang dunia ini ke keranjang atau bakul sampah kerana nanti engkau akan menjadi pengemis yang membuat beban orang lain. Sebaliknya janganlah engkau peluk dunia ini serta meneguk habis airnya kerana sesungguhnya yang engkau makan dan pakai itu adalah tanah belaka. Janganlah engkau bertemankan dengan orang yang bersifat talam dua muka, kelak akan membinasakan dirimu.
Kalau nak copy/share diizinkan....................................
Saturday, 31 December 2011
Mujahid, Mujtahid dan Mujaddid
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai ........” (QS. Ali-Imran : 103)
Keadaan ummat Islam yang sangat memprihatinkan, itu disebabkan karena kita, ummat Islam sudah meninggalkan pesan Rasulullah SAW yang merupakan pegangan kuat dalam hidup kita, yaitu :
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara; kalian tidak akan sesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada kedua perkara itu; Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Ibnu Abdil Bar).
Karena tidak berpegang teguh pada amanat Rasulullah SAW itu, maka timbullah khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pandangan dan pengertian) tentang ajaran Islam yang menjurus kepada perpecahan di kalangan ummat Islam. Sayangnya ada yang menganggap bahwa masalah khilafiyah itu adalah masalah kecil (tidak merusak aqidah, ibadah dan amal). Kemudia
Kemudian ada anjuran, malahan suatu keharusan supaya masalah khilafiyah itu dipeti-eskan saja untuk memelihara persatuan dan kesatuan? Bagaimana dengan peringatan Allah SWT : “Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai” (QS. Al- Hasyr : 14)
Bukankah dari dalam hati (aqidah) timbulnya persatuan yang dilandasi dengan rasa kasih sayang?
Allah SWT berfirman :
“.....janganlah kamu jadi golongan musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah (merusak) agama mereka, dan jadi-lah mereka beberapa golongan, merasa gembira/bangsa dengan agama yang ada pada mereka” (QS. Ar-Rum : 31-32).
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada seorang pun dari para Nabi yang diutus oleh Allah kepada ummatnya sebelum aku, kecuali baginya ada pembela-pembela dan sahabat-sahabat yang melaksanakan sunnahnya dan menaati perintahnya. Kemudian datang be-berapa generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka amalkan, dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan, maka barang siapa yang bersungguh-sungguh menyadarkan mereka dengan tangannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan mereka dengan lisannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan dengan hatinya, maka dia adalah seorang yang beriman. Selain itu, maka tidaklah ada padanya iman walaupun sebesar debu” (HR. Muslim).
Syekh Rasyid Ridla berkata :
“Tidak dapat ditegakkan (kemaslahatan) kecuali dengan da’wah. Dan da’wah tidak dapat berjalan kecuali dengan hujjah. Dan hujjah pun tidak ada artinya, jika sifat taqlid masih menguasai ummat” (Pembela Islam)
Jelaslah bahwa sifat merusak agama, baik dengan jelas menambah maupun menguranginya (bid’ah), amatlah berbahaya bagi orang-orang yang melakukannya dan bagi masyarakat Islam sendiri. Disinilah harus berlaku : “Saling nasehat-menasehati dalam soal-soal hak, dan saling nasehat-menasehati dalam soal-soal kesabaran”
Ada ulama berpendapat, bahwa khilafiyah itu adalah laknat, maka harus dijauhi. Pendapat seperti ini sama dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat seperti ini sudah tentu tidak benar. Bukan politiknya yang kotor, tetapi orangnya.
Demikian pula dengan khilafiyah. Bukan khilafiyahnya yang merupakan laknat, tetapi orang-orang yang menangani khilafiyah itu yang tidak dapat menempatkan dirinya pada tempatnya sehingga dia terus menerus merusak agama; jauh menyimpang dari apa yang sudah ditemukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini Allah SWT memperingatkan kita :
“Dan jika dikehendaki oleh Tuhanmu, tentu ia jadikan semua manusia menjadi ummat yang satu, tetapi mereka tetap berselisih. Kecuali orang yang mendapat rahmat (dikasihi) oleh Tuhanmu; karena untuk itulah Ia jadikan mereka dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu. Aku pasti akan memenuhi jahannam dengan jin dan manusia sekaliannya” (QS. Hud : 118-119)
Jelas dalam surat ini Allah menyatakan bahwa Ia akan menguji manusia dengan jalan mengadakan perbedaan pendapat, apakah mereka dapat menyelesaikannya dengan ikhlas.
Sebenarnya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu telah diatur oleh Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu. Maka sekiranya kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan Rasul jika kalian orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah sebaik-baik ta’wil” (QS. An-Nisa : 59)
MUJAHID
Seorang Mujahid ialah seorang pejuang : Manusia yang mempunyai idealisme, mempunyai keberanian dan keikhlasan dalam melakukan tugasnya. Yaitu orang yang mencurahkan segala kemampuannya dalam melaksanakan tugasnya dengan tujuan mendapat ridla Allah SWT, tentu akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, lahir dan bathin, dunia akhirat.
Kalau dia seorang prajurit, maka dengan penuh keberanian dia menghalau musuh dan memusnahkannya di medan peperang-an supaya negara dan bangsanya dapat hidup dengan aman dan tentram, menikmati keadilan dan rasa kemanusiaan. Kalau dia gugur dalam melaksanakan tugasnya itu, maka dialah yang merupakan orang yang mendapat tempat di sisi Allah di akhirat sebagai syuhada.
Allah SWT berfirman :
“Janganlah kamu katakan, bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. (Tidak!) Bahkan dia itu tetap hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (Qs. Al-Baqarah : 154)
Kalau Mujahid itu seorang ‘alim (ulama) dan berjuang dengan sekuat tenaga mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, serta mengajak manusia lain untuk menjadikan Al-Islam sebagai tuntunan hidup, maka dia adalah seorang pejuang (Mujahid Da’wah).
Allah SWT berfirman :
“Dan bukankah tidak ada orang yang lebih baik ucapannya selain dari pada manusia yang mengajak ke jalan Allah serta sambil berkata : Bahwasannya aku adalah dari orang-orang yang berserah diri kepada Allah” (QS. Fush Shilat : 33)
Tidak sedikit di antara orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan memusatkan perhatiannya di bidang da’wah, mendapat rintangan dan siksaan sehingga menemui ajalnya. Mereka pun gugur sebagai syuhada. Kalau mujahid itu seorang ahli politik dan lain sebagainya, maka mereka pun merupakan pahlawan-pahlawan (mujahid).
MUJTAHID
Menurut para ulama ahli ushul fiqh pengertian ijtihad ialah :
“Ijtihad itu ialah mengeluarkan segala kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amaly dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan Sunnah” (KH. Munawar Khalil)
Jelaslah, bahwa berijtihad itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk itu dibutuhkan antara lain :
a) Keikhlasan, semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT
b) Ilmu yang cukup untuk itu
c) Rasa kasih sayang sesama muslim
d) Ruh jihad yang membela agama Islam dari usaha orang-orang yang ingin merusak kesuciannya
e) Meyakini, bahwa tugas ini adalah tugas mulia untuk dapat mempersatukan ummat Islam dalam arti kata yang sesungguhnya
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Semoga rahmat Allah SWT dilimpahkan atas orang-orang yang merupakan penerus -penerusku, yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku” (Al-Hadits)
MUJADDID
Dengan semangat jihad seorang mujtahid akan menjadi seorang mujaddid, seorang yang memperbaharui ajaran Islam dengan arti : mengembalikannya kepada sunnah Rasulullah SAW dari penyimpangan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang telah dipengaruhi nafsu.
Mudah-mudahan kita, sebagai seorang muslim, sebagai hamba-hamba Allah yang mempunyai ketegasan sikap.
Dikutip dari : SUARA ISTIQAMAH
Jumadil Tsani 1417 H / Oktober 1996 M.
dan janganlah kamu bercerai berai ........” (QS. Ali-Imran : 103)
Keadaan ummat Islam yang sangat memprihatinkan, itu disebabkan karena kita, ummat Islam sudah meninggalkan pesan Rasulullah SAW yang merupakan pegangan kuat dalam hidup kita, yaitu :
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara; kalian tidak akan sesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada kedua perkara itu; Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Ibnu Abdil Bar).
Karena tidak berpegang teguh pada amanat Rasulullah SAW itu, maka timbullah khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pandangan dan pengertian) tentang ajaran Islam yang menjurus kepada perpecahan di kalangan ummat Islam. Sayangnya ada yang menganggap bahwa masalah khilafiyah itu adalah masalah kecil (tidak merusak aqidah, ibadah dan amal). Kemudia
Kemudian ada anjuran, malahan suatu keharusan supaya masalah khilafiyah itu dipeti-eskan saja untuk memelihara persatuan dan kesatuan? Bagaimana dengan peringatan Allah SWT : “Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai” (QS. Al- Hasyr : 14)
Bukankah dari dalam hati (aqidah) timbulnya persatuan yang dilandasi dengan rasa kasih sayang?
Allah SWT berfirman :
“.....janganlah kamu jadi golongan musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah (merusak) agama mereka, dan jadi-lah mereka beberapa golongan, merasa gembira/bangsa dengan agama yang ada pada mereka” (QS. Ar-Rum : 31-32).
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak ada seorang pun dari para Nabi yang diutus oleh Allah kepada ummatnya sebelum aku, kecuali baginya ada pembela-pembela dan sahabat-sahabat yang melaksanakan sunnahnya dan menaati perintahnya. Kemudian datang be-berapa generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka amalkan, dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan, maka barang siapa yang bersungguh-sungguh menyadarkan mereka dengan tangannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan mereka dengan lisannya, maka dia adalah seorang yang beriman, dan barangsiapa yang menyadarkan dengan hatinya, maka dia adalah seorang yang beriman. Selain itu, maka tidaklah ada padanya iman walaupun sebesar debu” (HR. Muslim).
Syekh Rasyid Ridla berkata :
“Tidak dapat ditegakkan (kemaslahatan) kecuali dengan da’wah. Dan da’wah tidak dapat berjalan kecuali dengan hujjah. Dan hujjah pun tidak ada artinya, jika sifat taqlid masih menguasai ummat” (Pembela Islam)
Jelaslah bahwa sifat merusak agama, baik dengan jelas menambah maupun menguranginya (bid’ah), amatlah berbahaya bagi orang-orang yang melakukannya dan bagi masyarakat Islam sendiri. Disinilah harus berlaku : “Saling nasehat-menasehati dalam soal-soal hak, dan saling nasehat-menasehati dalam soal-soal kesabaran”
Ada ulama berpendapat, bahwa khilafiyah itu adalah laknat, maka harus dijauhi. Pendapat seperti ini sama dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat seperti ini sudah tentu tidak benar. Bukan politiknya yang kotor, tetapi orangnya.
Demikian pula dengan khilafiyah. Bukan khilafiyahnya yang merupakan laknat, tetapi orang-orang yang menangani khilafiyah itu yang tidak dapat menempatkan dirinya pada tempatnya sehingga dia terus menerus merusak agama; jauh menyimpang dari apa yang sudah ditemukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini Allah SWT memperingatkan kita :
“Dan jika dikehendaki oleh Tuhanmu, tentu ia jadikan semua manusia menjadi ummat yang satu, tetapi mereka tetap berselisih. Kecuali orang yang mendapat rahmat (dikasihi) oleh Tuhanmu; karena untuk itulah Ia jadikan mereka dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu. Aku pasti akan memenuhi jahannam dengan jin dan manusia sekaliannya” (QS. Hud : 118-119)
Jelas dalam surat ini Allah menyatakan bahwa Ia akan menguji manusia dengan jalan mengadakan perbedaan pendapat, apakah mereka dapat menyelesaikannya dengan ikhlas.
Sebenarnya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu telah diatur oleh Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu. Maka sekiranya kalian berbeda pendapat dalam suatu perkara kembalikanlah (perbedaan pendapat itu) kepada Allah dan Rasul jika kalian orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah sebaik-baik ta’wil” (QS. An-Nisa : 59)
MUJAHID
Seorang Mujahid ialah seorang pejuang : Manusia yang mempunyai idealisme, mempunyai keberanian dan keikhlasan dalam melakukan tugasnya. Yaitu orang yang mencurahkan segala kemampuannya dalam melaksanakan tugasnya dengan tujuan mendapat ridla Allah SWT, tentu akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, lahir dan bathin, dunia akhirat.
Kalau dia seorang prajurit, maka dengan penuh keberanian dia menghalau musuh dan memusnahkannya di medan peperang-an supaya negara dan bangsanya dapat hidup dengan aman dan tentram, menikmati keadilan dan rasa kemanusiaan. Kalau dia gugur dalam melaksanakan tugasnya itu, maka dialah yang merupakan orang yang mendapat tempat di sisi Allah di akhirat sebagai syuhada.
Allah SWT berfirman :
“Janganlah kamu katakan, bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. (Tidak!) Bahkan dia itu tetap hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (Qs. Al-Baqarah : 154)
Kalau Mujahid itu seorang ‘alim (ulama) dan berjuang dengan sekuat tenaga mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, serta mengajak manusia lain untuk menjadikan Al-Islam sebagai tuntunan hidup, maka dia adalah seorang pejuang (Mujahid Da’wah).
Allah SWT berfirman :
“Dan bukankah tidak ada orang yang lebih baik ucapannya selain dari pada manusia yang mengajak ke jalan Allah serta sambil berkata : Bahwasannya aku adalah dari orang-orang yang berserah diri kepada Allah” (QS. Fush Shilat : 33)
Tidak sedikit di antara orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan memusatkan perhatiannya di bidang da’wah, mendapat rintangan dan siksaan sehingga menemui ajalnya. Mereka pun gugur sebagai syuhada. Kalau mujahid itu seorang ahli politik dan lain sebagainya, maka mereka pun merupakan pahlawan-pahlawan (mujahid).
MUJTAHID
Menurut para ulama ahli ushul fiqh pengertian ijtihad ialah :
“Ijtihad itu ialah mengeluarkan segala kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amaly dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan Sunnah” (KH. Munawar Khalil)
Jelaslah, bahwa berijtihad itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk itu dibutuhkan antara lain :
a) Keikhlasan, semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT
b) Ilmu yang cukup untuk itu
c) Rasa kasih sayang sesama muslim
d) Ruh jihad yang membela agama Islam dari usaha orang-orang yang ingin merusak kesuciannya
e) Meyakini, bahwa tugas ini adalah tugas mulia untuk dapat mempersatukan ummat Islam dalam arti kata yang sesungguhnya
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Semoga rahmat Allah SWT dilimpahkan atas orang-orang yang merupakan penerus -penerusku, yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku” (Al-Hadits)
MUJADDID
Dengan semangat jihad seorang mujtahid akan menjadi seorang mujaddid, seorang yang memperbaharui ajaran Islam dengan arti : mengembalikannya kepada sunnah Rasulullah SAW dari penyimpangan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang telah dipengaruhi nafsu.
Mudah-mudahan kita, sebagai seorang muslim, sebagai hamba-hamba Allah yang mempunyai ketegasan sikap.
Dikutip dari : SUARA ISTIQAMAH
Jumadil Tsani 1417 H / Oktober 1996 M.
Subscribe to:
Posts (Atom)