
Tuesday, 30 April 2013
Hembus dalam Cawan
NABI MUHAMMAD SAW melarang para sahabatnya meniup air panas yg akan diminum. Hendak Tahu Kenapa Baginda melarang?
Baginda tidak menerangkan kenapa tapi beliau melarang keras hal tersebut, ternyata. Dalam penelitian Sains, air panas (H2O) yang bertemu karbondioksida (CO2) yang dihembuskan oleh mulut (manusia mengeluarkan CO2)
Maka akan menghasilkan persenyawaan H2CO3, asam karbonat. Dan jika asam karbonat ini masuk ke dalam tubuh manusia, maka akan mengakibatkan penyakit jantung.
Baginda tidak menerangkan kenapa tapi beliau melarang keras hal tersebut, ternyata. Dalam penelitian Sains, air panas (H2O) yang bertemu karbondioksida (CO2) yang dihembuskan oleh mulut (manusia mengeluarkan CO2)
Maka akan menghasilkan persenyawaan H2CO3, asam karbonat. Dan jika asam karbonat ini masuk ke dalam tubuh manusia, maka akan mengakibatkan penyakit jantung.
Kalam Hikmah Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz
Janganlah Urusan Dunia Kita Mengalahkan Urusan Akhirat Kita

Carilah dunia sebanyak mungkin, namun janganlah urusan duniamu mengalahkan urusan akhiratmu. Selalulah bersyukur kepada segala pemberian Allah, baik yang besar maupun yang kecil.
Contoh yang telah diajarkan Rasulullah Saw. seperti menjilati tangan sehabis makan adalah merupakan salah satu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah Swt.
Tidak menyisakan nasi dalam piring hidangan kita juga merupakan bentuk rasa syukur kita, mengambil sebutir nasi yang terjatuh dari piring kita untuk dimakan adalah juga suatu bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah Swt.
Kita harus bersyukur walau hanya dapat makan dengan nasi putih saja. Karena Allah Swt. telah berfirman: “Barangsiapa bersyukur atas nikmatKu, maka Aku akan tambahkan nikmat kepadanya.”
Wahai para hadirin, kata “Aku” disini adalah Allah, jadi Allah sendiri yang akan menambahkan dan memberi tambahan nikmat Nya atas orang yang mau bersyukur tersebut. Sungguh agung dan suci anugerah Nya.
Dikatakan bahwa “Barangsiapa yang taat dan patuh kepada Allah, maka Allah memerintahkan dunia untuk tunduk dan mendatanginya serta melayani hambaNya itu.”
(Cuplikan Taushiyah Al-Habib Umar bin Hafidz di Kediaman Al-Habib Umar bin Muhammad Mulachela, Jakarta Selatan, pada bulan Februari tahun 2006 M yang silam)
Mengenali Habib Ali Al-Jufri
PROFIL GURU MULIA AL-HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN AL-JUFRI

Penampilan Fisik Al-Habib Ali Al-Jufri
Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.
Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.
Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh.
Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.
Itulah sebagian gambaran al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat. Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?
Kelahiran dan Nasab Al-Habib Ali Al-Jufri
Al-Habib Ali al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang Fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali al-Jufri.
Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.
Pendidikan dan Guru-guru Al-Habib Ali Al-Jufri
Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Al-Quthb al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama al-Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.
Ia juga berguru kepada al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Diantara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum al-Muqarrabin.
Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada al-Habib Hamid bin Alwi bin Thahir al-Haddad, ia membaca al-Mukhtashar al-Lathif dan Bidayah al-Hidayah.
Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada al-Habib Abu Bakar al-`Adni bin Ali al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, ar-Risalah al-Jami`ah, Bidayah al-Hidayah, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Tafsir al-Jalalain, Tanwir al-Aghlas, Lathaif al-Isyarat, Tafsir Ayat al-Ahkam, dan Tafsir al-Baghawi.
Pada tahun 1412 H (1991 M) al-Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M). Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi al-Habib Umar bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, al-Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk al-Murid, Risalah al-Mu`awanah, Minhaj al-`Abidin, al-`Iqd an-Nabawi, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Hikam, dan sebagainya.
Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti asy-Syaikh Umar bin Husain al-Khathib, asy-Syaikh as-Sayyid Mutawalli asy-Sya`rawi, asy-Syaikh Ismail bin Shadiq al-Adawi di al-Jami` al-Husaini dan di al-Azhar asy-Syarif, Mesir, juga asy-Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Disamping itu, al-Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.
Dakwah Al-Habib Ali Al-Jufriy
Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.
Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.
Negara-negara non-Arab di Asia, diantaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, diantaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki.
Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Disamping juga mengunjungi Kanada
Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya. Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan al-Habib Ali.
Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama al-Habib Ali al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.
Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.
Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), asy-Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.
Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.
Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.
Kemunculan al-Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.
Tragedi Kartun Nabi
Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, al-Habib Ali al-Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata batinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.
Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, al-Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah Saw. dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.
Tentu saja cara pandang al-Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah Saw., merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi Saw., berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.
Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi Saw. dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.
Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah al-Habib Ali al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis.
Terjalinnya Silaturahim dan Bersatu dalam Mahabbah
Tentu saja untuk berani melakukan dialog dengan pers Barat dibutuhkan kecerdasan dan keluasan berpikir serta pemahaman atas pola berpikir masyarakat Barat. Al-Habib Ali dan para dai ini, selain sangat memahami masyarakat Barat, juga memiliki tim khusus yang melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail tentang subyek apapun yang dibutuhkan.
Ketika melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus kartun Nabi, al-Habib Ali menemukan satu benang merah: “Semua kelompok dalam masyarakat Islam marah”. Kemarahan yang mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi Saw. ini bersifat lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah.
Al-Habib Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk menyatukan visi kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Kalau kaum muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab, thariqah, bahkan aqidah, mereka ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan pembelaan terhadap Nabi Saw.
Langkah al-Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat. Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan safari intensif keliling Eropa bertemu dengan kalangan pers dan berbagai kalangan lainnya untuk memberikan penjelasan.
Al-Habib Ali dan para dai tersebut mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin kepada Rasulullah Saw., untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan untuk mengajak muslim berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq Nabinya, sambil mengingatkan kaum muslimin yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi Saw.
Ia juga menyeru kepada kaum muslimin untuk memanfaatkan momen ini dengan menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad Saw. kepada para tetangga dan kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk membuka topik untuk menjelaskan kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan beliau di lubuk hati kaum muslimin.
Bukan hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk menyatukan dai-dai sedunia dalam satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi dai sedunia. Yang menarik, dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia senantiasa menggandeng, berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para ulama besar dunia, seperti asy-Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan al-Buthi, asy-Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini menjadi gerakan kolektif, milik bersama, bukan milik al-Habib Ali saja.
Sebagai salah satu dampak dari gerakan ini adalah terjalinnya silaturahim dan tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus atau kurang intensif di antara para ulama dan dai muslimin karena mereka menjadi giat berkomunikasi lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi, bahkan lintas aqidah.
Gerakan yang dipelopori al-Habib Ali ternyata mampu mengikat sejumlah besar pemuka Islam dari berbagai latar belakang yang berbeda ke dalam satu shaf lurus yang panjang untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu internasional dengan satu suara bulat yang tidak terpecah-pecah. Kita berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari persatuan ulama dan dai-dai muslimin.Aamiin yaa Ilaahanaa Ilaahal Ma’buud.
Disadur dari berbagai sumber
Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 10 Rabi’ul Awwal 1434 H
Alkisah raja dengan anjing…
Ketika Putera Ismail berusia 17 tahun, beliau menyelamatkan seekor anak anjing yang hampir lemas. Anjing itu diberi nama Si Perang.
Ketika itu, hujan lebat, tempat di mana anak anjing yang baru dilahirkan ini ditenggelami air.
Ketika Putera Ismail tiba, semua anak anjing sudah meninggal, hanya tinggal Si Perang.
Si Perang seekor anjing yang cantik. Putera Ismail sangat menyukainya. Beliau mengarahkan seorang budak suruhannya untuk menjaga Si Perang – makan, minum, mandi dan membawa Si Perang keluar untuk membuang air tiga hari sekali.
Oleh kerana sayang pada Si Perang, Putera Ismail setiap petang datang menjenguk Si Perang untuk bermain dengannya sekejap. Putera Ismail tidak dapat meluangkan masa yang banyak kerana terpaksa membantu pentadbiran ayahnya yang kini uzur.
Pada usia 18 tahun, Putera Ismail ditabalkan sebagai Raja ekoran kematian bapanya.
Masa yang diluangkan bersama Si Perang semakin berkurang.
Ada satu ketika, Raja Ismail terpaksa keluar berperang – 6 bulan baginda tidak kembali.
Setelah kembali dari perang, Raja Ismail meluangkan masa pergi menjenguk Si Perang. Baginda menjenguk Si Perang dari jauh, sedang gembira bermain dengan budak suruhannya yang dikerah menjaganya.
Raja Ismail tidak lagi turun bermain dengan Si Perang kerana kesibukan. Baginda hanya melihat dari jauh. Si Perang membesar dengan cantik.
Pada satu hari, selepas tamatnya perang, Raja Ismail teringatkan Si Perang dan ingin bermain bersamanya.
Sampai ke kandang Si Perang, baginda melihat bekas makanan Si Perang bersepah. Budak suruhannya tidak kelihatan. Si Perang turut tidak kelihatan.
Ketika Raja Ismail melutut untuk mengambil bekas makanan Si Perang untuk dibersihkan, baginda diterkam dari belakang.
Si Perang menyerangnya. Baginda terkejut.
Baginda cuba melawan dan melepaskan gigitan Si Perang. Kedengaran bunyi kuat, budak suruhan baginda cepat-cepat lari datang untuk menyelamatkan keadaan.
Si Perang melihat kedatangan budak suruhan terus melepaskan gigitan dan menghayunkan ekornya.
“Beta tuan dia. Dia berani gigit beta. Dia sini sudah tak tahu siapa tuan dia sebenar. Bagaimana kamu ajar dia?” jerit Raja Ismail dengan nada yang kuat.
Budak suruhan itu mengigil dan memohon ampun.
Selepas seketika, kemarahan Raja Ismail pun reda.
“Sebab budak suruhan yang beri makan kepadanya tiap-tiap hari, oleh itu Si Perang menganggap budak suruhan itu sebagai tuannya walhal duit makanan datang daripada baginda. Tapi Si Perang tak tahu,” bisik Raja Ismail di hati.
Raja Ismail bertindak menukarkan budak suruhan kepada budak suruhan yang baru. Si Perang sangat garang dengan budak suruhan yang baru sehingga budak suruhan baru tidak berani memberikannya makan.
Si Perang dibiarkan kelaparan dua hari. Kemudian, Raja Ismail menyuruh budak suruhan baru memberikannya makan. Si Perang mula berjinak dengan budak suruhan yang baru dan kini menganggapnya sebagai tuan.
Akan tetapi, Si Perang masih terlupa siapa tuannya yang sebenar. Raja Ismail memahami sesuatu sambil tersenyum.
Ketika berbicara dengan para pegawainya, baginda berkata:
“Kita hanya diamanahkan untuk menjaga rakyat. Jangan belot amanah yang diberikan Tuhan. Jangan kita jadikan diri seperti Tuhan. Jangan biar rakyat menganggap kita pula sebagai Tuhan. Tuhan ialah Tuhan, kita hanyalah posmen untuk menyampaikan rezeki kepada rakyat.
Kerajaan boleh ditukar bila-bila masa. Jangan buat rakyat seperti anjing, membiarkannya lapar dan tidak cukup makan, dan kemudian menganggap kita sebagai Tuhan kerana kita mengambil sedikit duit keluar untuk mengurang kesengsaraan dan kelaparan mereka. Itu zalim dan tidak betul. Rakyat bukan anjing. Kita sekadar budak suruhan Tuhan untuk menjaga rakyat. Jangan pula kita buat rakyat sebagai anjing, dan mereka menganggap kita, budak suruhan ini sebagai Tuhan.”
Semua pegawainya tabik hormat pada pandangan Raja Ismail. Raja Ismail pula berterima kasih kerana gigitan Si Perang membuatnya menyedari sesuatu yang cukup berharga dalam mentadbir negara.
Dapat isi tersirat?
INI KALILAH!
Jadilah agen perubahan dan kongsi cerita ini kepada mereka yang memerlukannya.
Ketika itu, hujan lebat, tempat di mana anak anjing yang baru dilahirkan ini ditenggelami air.
Ketika Putera Ismail tiba, semua anak anjing sudah meninggal, hanya tinggal Si Perang.
Si Perang seekor anjing yang cantik. Putera Ismail sangat menyukainya. Beliau mengarahkan seorang budak suruhannya untuk menjaga Si Perang – makan, minum, mandi dan membawa Si Perang keluar untuk membuang air tiga hari sekali.
Oleh kerana sayang pada Si Perang, Putera Ismail setiap petang datang menjenguk Si Perang untuk bermain dengannya sekejap. Putera Ismail tidak dapat meluangkan masa yang banyak kerana terpaksa membantu pentadbiran ayahnya yang kini uzur.
Pada usia 18 tahun, Putera Ismail ditabalkan sebagai Raja ekoran kematian bapanya.
Masa yang diluangkan bersama Si Perang semakin berkurang.
Ada satu ketika, Raja Ismail terpaksa keluar berperang – 6 bulan baginda tidak kembali.
Setelah kembali dari perang, Raja Ismail meluangkan masa pergi menjenguk Si Perang. Baginda menjenguk Si Perang dari jauh, sedang gembira bermain dengan budak suruhannya yang dikerah menjaganya.
Raja Ismail tidak lagi turun bermain dengan Si Perang kerana kesibukan. Baginda hanya melihat dari jauh. Si Perang membesar dengan cantik.
Pada satu hari, selepas tamatnya perang, Raja Ismail teringatkan Si Perang dan ingin bermain bersamanya.
Sampai ke kandang Si Perang, baginda melihat bekas makanan Si Perang bersepah. Budak suruhannya tidak kelihatan. Si Perang turut tidak kelihatan.
Ketika Raja Ismail melutut untuk mengambil bekas makanan Si Perang untuk dibersihkan, baginda diterkam dari belakang.
Si Perang menyerangnya. Baginda terkejut.
Baginda cuba melawan dan melepaskan gigitan Si Perang. Kedengaran bunyi kuat, budak suruhan baginda cepat-cepat lari datang untuk menyelamatkan keadaan.
Si Perang melihat kedatangan budak suruhan terus melepaskan gigitan dan menghayunkan ekornya.
“Beta tuan dia. Dia berani gigit beta. Dia sini sudah tak tahu siapa tuan dia sebenar. Bagaimana kamu ajar dia?” jerit Raja Ismail dengan nada yang kuat.
Budak suruhan itu mengigil dan memohon ampun.
Selepas seketika, kemarahan Raja Ismail pun reda.
“Sebab budak suruhan yang beri makan kepadanya tiap-tiap hari, oleh itu Si Perang menganggap budak suruhan itu sebagai tuannya walhal duit makanan datang daripada baginda. Tapi Si Perang tak tahu,” bisik Raja Ismail di hati.
Raja Ismail bertindak menukarkan budak suruhan kepada budak suruhan yang baru. Si Perang sangat garang dengan budak suruhan yang baru sehingga budak suruhan baru tidak berani memberikannya makan.
Si Perang dibiarkan kelaparan dua hari. Kemudian, Raja Ismail menyuruh budak suruhan baru memberikannya makan. Si Perang mula berjinak dengan budak suruhan yang baru dan kini menganggapnya sebagai tuan.
Akan tetapi, Si Perang masih terlupa siapa tuannya yang sebenar. Raja Ismail memahami sesuatu sambil tersenyum.
Ketika berbicara dengan para pegawainya, baginda berkata:
“Kita hanya diamanahkan untuk menjaga rakyat. Jangan belot amanah yang diberikan Tuhan. Jangan kita jadikan diri seperti Tuhan. Jangan biar rakyat menganggap kita pula sebagai Tuhan. Tuhan ialah Tuhan, kita hanyalah posmen untuk menyampaikan rezeki kepada rakyat.
Kerajaan boleh ditukar bila-bila masa. Jangan buat rakyat seperti anjing, membiarkannya lapar dan tidak cukup makan, dan kemudian menganggap kita sebagai Tuhan kerana kita mengambil sedikit duit keluar untuk mengurang kesengsaraan dan kelaparan mereka. Itu zalim dan tidak betul. Rakyat bukan anjing. Kita sekadar budak suruhan Tuhan untuk menjaga rakyat. Jangan pula kita buat rakyat sebagai anjing, dan mereka menganggap kita, budak suruhan ini sebagai Tuhan.”
Semua pegawainya tabik hormat pada pandangan Raja Ismail. Raja Ismail pula berterima kasih kerana gigitan Si Perang membuatnya menyedari sesuatu yang cukup berharga dalam mentadbir negara.
Dapat isi tersirat?
INI KALILAH!
Jadilah agen perubahan dan kongsi cerita ini kepada mereka yang memerlukannya.
Monday, 25 March 2013
Alkisah Sebuah Hidangan Isteri
Mak saya suka memasak tapi mak bukan seorang suri rumah, mak seorang engineer. Ada satu malam, mak balik sangat kepenatan tapi masih perlu memasak untuk saya dan abah.
Mak hanya mampu masak ayam kunyit, sayur kailan ikan masin dan nasi. 3 hidangan itu diletakkan di meja makan di mana ayah duduk goyang kaki menunggu makan.
Ayah meminta diri untuk solat Maghrib dulu sebelum makan. Ketika itu saya mencuba hidangan mak. Alamak, ayam kuncit terlalu masin, kailan separuh masak dan nasi hanyit.
Namun saya diam.
Selepas Isyak, ayah menjamu makanan masakan mak. Sambil makan, ayah bertanya bagaimana sekolah hari ini.
Saya tidak berapa ingat apa jawapan saya.
Ketika makan, mak mohon maaf pada ayah atas masakannya. Tapi ayah menjawab, “Sangat sedap sayang. Abang suka semua hidangan ini.”
Malam itu, sebelum tidur, saya pergi bersalam dengan ayah yang masih di ruang tamu dan bertanya betul ke ayah suka masakan mak tadi yang saya sendiri terasa susah nak telan.
“Anakku, mak dah penat sepanjang hari kerja. Mak dah penat. Hidangan kurang enak tak melukakan Mie dan ayah tapi kata-kata kasar akan menghiris perasaan,” kata ayah.
Mendengar kata-kata ayah, saya tersentak.
Lalu saya masuk bilik untuk bersalam dengan mak dan bertanya…
“Mak rasa ayah tadi kata suka masakan mak hari ini, mak percaya ke?”
“Anakku. Itu tak penting. Yang penting ayah jaga hati mak dan selepas makan, ayah tolong mak cuci pinggan. Ayah kamu itu orang besar, tapi benda-benda kecil sebegini yang buat mak sentiasa rasa bahagia kerana terasa ayah betul-betul sayang kat mak,” jawab mak.
Itulah perkara yang berlaku ketika kecil dan saya mengingati sehingga hari ini.
Kini saya sudah berkahwin, anak sudah tiga – dan melihat kembali kenangan manis ayah dan emak, saya semakin memahami fikiran mereka pada masa itu.
Mak dan ayah dan tindak-tanduk mereka menunjukkan mereka menerima segala kelemahan antara satu-sama lain dan meraikan perbezaan tersebut supaya hubungan erat dan kukuh sentiasa berkekalan. Mereka meraikan segalanya antara mereka, dan berusaha bersama untuk memastikan pasangan mereka sentiasa gembira dan bahagia.
## Hidup ini terlalu singkat untuk sebarang kekesalan. Sayangi mereka yang melayan kita dengan baik dan kasihanlah pada mereka yang tidak.
Sebuah tulisan untuk renungan. ^_^
Mak hanya mampu masak ayam kunyit, sayur kailan ikan masin dan nasi. 3 hidangan itu diletakkan di meja makan di mana ayah duduk goyang kaki menunggu makan.
Ayah meminta diri untuk solat Maghrib dulu sebelum makan. Ketika itu saya mencuba hidangan mak. Alamak, ayam kuncit terlalu masin, kailan separuh masak dan nasi hanyit.
Namun saya diam.
Selepas Isyak, ayah menjamu makanan masakan mak. Sambil makan, ayah bertanya bagaimana sekolah hari ini.
Saya tidak berapa ingat apa jawapan saya.
Ketika makan, mak mohon maaf pada ayah atas masakannya. Tapi ayah menjawab, “Sangat sedap sayang. Abang suka semua hidangan ini.”
Malam itu, sebelum tidur, saya pergi bersalam dengan ayah yang masih di ruang tamu dan bertanya betul ke ayah suka masakan mak tadi yang saya sendiri terasa susah nak telan.
“Anakku, mak dah penat sepanjang hari kerja. Mak dah penat. Hidangan kurang enak tak melukakan Mie dan ayah tapi kata-kata kasar akan menghiris perasaan,” kata ayah.
Mendengar kata-kata ayah, saya tersentak.
Lalu saya masuk bilik untuk bersalam dengan mak dan bertanya…
“Mak rasa ayah tadi kata suka masakan mak hari ini, mak percaya ke?”
“Anakku. Itu tak penting. Yang penting ayah jaga hati mak dan selepas makan, ayah tolong mak cuci pinggan. Ayah kamu itu orang besar, tapi benda-benda kecil sebegini yang buat mak sentiasa rasa bahagia kerana terasa ayah betul-betul sayang kat mak,” jawab mak.
Itulah perkara yang berlaku ketika kecil dan saya mengingati sehingga hari ini.
Kini saya sudah berkahwin, anak sudah tiga – dan melihat kembali kenangan manis ayah dan emak, saya semakin memahami fikiran mereka pada masa itu.
Mak dan ayah dan tindak-tanduk mereka menunjukkan mereka menerima segala kelemahan antara satu-sama lain dan meraikan perbezaan tersebut supaya hubungan erat dan kukuh sentiasa berkekalan. Mereka meraikan segalanya antara mereka, dan berusaha bersama untuk memastikan pasangan mereka sentiasa gembira dan bahagia.
## Hidup ini terlalu singkat untuk sebarang kekesalan. Sayangi mereka yang melayan kita dengan baik dan kasihanlah pada mereka yang tidak.
Sebuah tulisan untuk renungan. ^_^
Friday, 1 February 2013
Sultan Al-Fatih

Sultan al-Fatih sejak kecil menanam azam luar biasa untuk menawan kota yang menjadi tumpuan kuasa besar Islam.
Diriwayatkan ketika waktu kecil , di lantai bilik al-Fatih terhampar peta besar kota Konstantinopel . Baginda akan berdiri di atas kota tersebut sambil menanam dan membina imaginasi yang hebat.
Imaginasi hebat melahirkan tindakan (action) yang efektif.
Saya tertarik dengan gambar ini. Berpakaian raja (nampak kebesaran - seorang raja) , berserban ( nampak keilmuan dan kesungguhan) , dan tangannya pegang tasbih (nampak jiwanya yang bersifat rabbani-sufi) . Ketahuilah tangan yang lembut mengira biji tasbih itu juga memegang pedang dengan gengaman kemas memenggal kegoaan kuffar.
"Rubban fil lail , fursan fin nahar"
( Rahib -abid di malam hari , panglima kuda tangkas di siang hari)
Imaginasi hebat melahirkan tindakan (action) yang efektif.
Saya tertarik dengan gambar ini. Berpakaian raja (nampak kebesaran - seorang raja) , berserban ( nampak keilmuan dan kesungguhan) , dan tangannya pegang tasbih (nampak jiwanya yang bersifat rabbani-sufi) . Ketahuilah tangan yang lembut mengira biji tasbih itu juga memegang pedang dengan gengaman kemas memenggal kegoaan kuffar.
"Rubban fil lail , fursan fin nahar"
( Rahib -abid di malam hari , panglima kuda tangkas di siang hari)
Subscribe to:
Posts (Atom)