Sunday, 5 January 2014

SIRR AL-KHALQ

Ketika Nama-Nama BELUM ADA
Pun ketika tidak ada tanda WUJUD DIBERI NAMA
Dengan kemunculan ku – NAMA-NAMA
Dan YANG DIBERI NAMA, terlihat JADINYA
Pada hari itu ketika belum ada 'AKU' dan 'KITA'
Satu-satunya isyarat penyingkap RAHSIA-Nya
IALAH TANDA-TANDA-Nya YANG DILIPUTI KEINDAHAN ...

Namun, TANDA-TANDA-Nya itu pun BELUM ADA ...

Maka ku cari IA di PALANG SALIB dan IMAN orang Nasrani
Dengan susah payah ku cari IA
Namun ternyata IA tiada di PALANG SALIB ...

Ku kunjungi CANDI Hindu dan PAGODA lama
Juga tidak ada TANDA apa pun di sana ...

Ke puncak HERAT aku pergi, ke KANDAHAR ku cari
Ia tak ada di tempat yang RENDAH mahu pun TINGGI
Akhirnya aku pun pergi ke puncak GUNUNG QAF
Yang ku lihat hanya kediaman burung ANQA
Ku pergi ke KA'BAH di MAKKAH, JUGA TIDAK DI SANA IA
IA tak ada di tempat orang TUA dan MUDA, BERLINDUNG
Ku tanya IBNU SINA pendekar falsafah yang ulung
Ah, tempat itu pun TAK TERCAPAI OLEH FIKIRAN Ibnu Sina ...

Ku BELOK haluan dan pergi ke tempat YANG LEBIH JAUH lagi
Ia tak ada di ISTANA yang dipuji SETINGGI LANGIT
Akhirnya aku pergi KE DALAM HATI KU SENDIRI
Ya, di sana aku MELIHAT-Nya, tidak di tempat lain ...


~ Maulana Jalaludin Ar-Rumi ~

Maksud Selawat


Makna Perkataan “Selawat”
  • Perkataan Selawat ( Bahasa 'Arab : الصلوات‎ ) diambil dari perkataan Solat ( Bahasa 'Arab : الصلاة‎ ), doapujian.
  • Telah berkata Al-Bukhariy : Telah berkata Abu `Aliyah :
  1. Selawat Allah Subhanahu wata`ala ialah Pujian-Nya di sisi para Malaikat.
  2. Dan Selawat Malaikat ialah Doa.
  3. Dan Selawat orang Mu’min ialah Memohon Rahmat daripada Allah ke atas Nabi Muhammad S.A.W.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi (Muhammad S.A.W). Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan.

[QS. Al-Ahzab : 56]

Saturday, 4 January 2014

Kenapa nama Dar Al Mustofa ?

DAR AL MUSTOFA, TARIM, YEMEN


Kenapa Dar Al Mustofa dinamakan "Dar" yang maknanya 'rumah' tidak dinamakan "Ma'ahad/Jami'ah" dan sebagainya? Ini kerana ia dihuni oleh Al-Mustofa S.A.W. begitu juga dengan Dar Al Zahra

Kalam Al-Allamah Ad-DaieIlallah Al-Habib Umar Al-Hafidz  
 
Semoga Kita Semua di Takdirkan Allah bisa berada di Bumi Tarim, Bumi sejuta wali ... aamiin
 
.

Karomah Syeikh Kholil Bengkalan

KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, dan KH.Muhammad KHolil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.

Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri.

KH.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil, sapan KH Kholill bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). (sufismenews.blogspot.com)

Biografi KH. Muhammad Kholil Bangkalan

Muhammad Khalil Al Maduri
(1235 – 1341 H / 1820 – 1923 M)
Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.
Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan Wali Songo.

Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadil akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.

Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan dan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara membacanya (kiraah).
Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.

Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.

Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.

Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegon bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini kawin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para santrinya itu adalah :
  1. 1. KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok-Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas berdirinya Nahdhatul Ulama),
  2. 2. KH Abdul Wahhab Hasbullah (Pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
  3. 3. KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar)
  4. 4. KH Ma’shum (Pendiri Pondok Pesantren Lasem Rembang).
  5. 5. KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang).
  6. 6. KH. Muhammad Hasan Genggong (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong).
  7. 7. KHR. Syamsul Arifin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  8. 8. KHR. As’ad Syamsul `Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  9. 9. KH. Muhammad Shiddiq (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember ).
  10. 10. KH. Zaini Mun’im (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo).
  11. 11. KH. Abdullah Mubarak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
  12. 12. KH. Asy’ari (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah Wonosari Bondowoso).
  13. 13. KH. Abi Sujak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep).
  14. 14. KH. Abdul Aziz Ali Wafa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul ‘Ulum Jember ).
  15. 15. KH. Masykur (Banyak berkiprah di bidang politik dan kenegaraan. Menjadi Panglima Sabilillah, Ketua Umum PBNU).
  16. 16. KH. Asmuni (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asmuni Tarateh Sumenep).
  17. 17. KH. Karimullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Taman, Bondowoso, sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Miftahul Ulum).
  18. 18. KH. Abdul Karim (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboya Kediri ).
  19. 19. KH. Munawwir (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ).
  20. 20. KH. Khozin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo ).
  21. 21. KH. Nawawi Bin KH. Nur Hasan (Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ).
  22. 22. KH. Abdullah Faqih Bin Umar (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Cemoro Rogojampi Banyuwangi ).
  23. 23. KH. Yasin Bin Rais (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Pasuruan ).
  24. 24. KH. Tholhah Rawi (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Sumur Nangka Mudung ).
  25. 25. Kh. Abdul Fatah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah Tulungagung ).
  26. 26. KH. Ridwan Bin Ahmad (Sedayu Gresik, Hafidz Al-Qur’an, Pakar Ilmu Hisab )
  27. 27. KH. Ahmad Qusyairi (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan ).
  28. 28. Kh. Ramli Tamim (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Paterongan Jombang ).
  29. 29. KH. Ridwan Abdullah ( Pencipta Lambang NU ).
  30. 30. KH. Abdul hamid bin Itsbat (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura ).
  31. 31. KH. Abdul Madjid bin KH. Abdul Hamid (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul ’Ulum Bata-bata Pamekasan Madura ).
  32. 32. KH. Muhammad Thoha Jamaluddin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Simbergayam Pamekasan Madura ).
  33. 33. KH. Djazuli Utsman (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri ).
  34. 34. KH. Hasan Musthofa ( Garut, Jawa Barat ).
  35. 35. KHR. Faqih Maskumambang ( Gresik Jawa Timur ).
  36. 36. KH. Yatawi ( Puger Jember )
  37. 37. KH. Abdul Wahab (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Huda Penataban Banyuwangi ).
  38. 38. KH. Ma’ruf ( Kedunglo, Kediri Jawa Timur ).
  39. 39. KH. Harun (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Najah Tukangkayu Banyuwangi ).
  40. 40. KH. Moh. Hasan Abdullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatul Hasan Kalipuro Banyuwangi ).
  41. 41. KH. R. Abbas Hasan (Pendiri Pondok Pesantren Al-Azhar Tugung, Sempu-Banyuwangi)
  42. 42. Dr. Ir. Soekarno ( Proklamtor Kemerdekaan Indonesia, Presiden RI Pertama ) Meskipun Bung Karno tidak resmi sebagai santri, namun ketika sowan ke Bangkalan Kiai Kholil meniup ubun-ubunnya.
  43. 43. Sayyid Ali Bafaqih ( Negara Bali )
Dan masih banyak lagi para santri yang belum sempat ditulis melalui media ini. Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.
Sumber : Biorafi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan – Saifur Rachman – Pustaka Ciganjur

Friday, 3 January 2014

Keberkatan Bersama Shiddiqin

Di ceritakan oleh AL HABIB MUNZIR AL MUSAWA,

Ketika gunung Uhud berguncang , Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tenanglah wahai Uhud sesungguhnya di atasmu ada nabi , shiddiq , dan dua orang syahid “

 
Mereka adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam ,sayyidina Abi Bakr As Shiddiq , sayyidina Umar bin Khattab dan sayyidina Utsman bin Affan Radiyallahu ‘anhum , namun nabi tidak menyebut namanya , tidak menyebut ada Abu Bakr , Umar dan Utsman tetapi beliau menyebut dengan “ Nabiy , Shiddiq , Syahiidan “. Kalau Shiddiq berarti bukan Abu Bakr As Shiddiq saja , siapapun para shiddiqin yang berkesinambungan dari masa ke masa , maka dengan keberadaan seorang As Shiddiq di atas sebuah gunung maka tidak pantas gunung itu berguncang dengan instruksi nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam .

Maka yang seharusnya ada musibah yang terjadi akan menjadi jauh dengan keberadaan para shiddiqin yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapai keridhaan Allah mereka adalah para wali Allah ,Ulama , dan Shalihin .

Budi Pekerti Guru Mulia Al Habib Umar Ben Hafidz

BUDI PEKERTI GURU MULIA AL MUSNID AL-HABIB UMAR BIN HAFIDH SEHARI-HARI

Dari Al Marhum Al-Habib Mundzir Al-Musawa Mengatakan:
Beliau itu adalah panutan yang sangat indah, selama tahun 93, dan awal 94, saat itu saya meninggalkan Jakarta untuk belajar dengan beliau di Yaman, selama 4 tahun dalam tarbiyah bersama beliau. Saya tidak pernah menemukan BUDI PEKERTI YANG SANGAT INDAH DAN SERASI DENGAN NABI MUHAMMAD SAW,sebagaimana yang saya lihat pada pribadi beliau.

Semua yang saya lihat pada kitab kitab Ahaditsun Nabawy tentang:

- budi pekerti Rasul
- cara duduknya
- cara jalannya
- cara bicaranya -cara tidurnya
- cara segala galanya




 

TERNYATA ADA PADA SOSOK GURU MULIA KITA (Al- Musnid Al-Habib Umar bin Hafidh). Jadi ternyata bukan kitab saja yg berbicara, ada sosoknya yang jelas terlihat.

Kalau hadistnya begini Rasulullah saw, ternyata saya lihat ada pada beliau, dan demikian dan demikian.Demikian budi pekerti yang sangat indah, dan beliau orang yang sangat ramah kepada semua orang, bahkan ketika salah seorang:

- anti maulid
- tidak suka maulid
- benci kepada beliau
- selalu mencela beliau

Sekali waktu bertemu dengan beliau disalah satu acara. Lantas beliau mengambil tangan orang itu lalu menciumnya. Maka orang itupun menangis: "Saya benci orang ini seumur hidup saya, anak saya juga tidak cium tangan saya, tapi ulama ini cium tangan saya" Meruntuhkan kebencian kepada beliau, dan berbalik menjadi orang yang sangat mencintai beliau. Kejadian seperti ini sangat banyak terjadi. Demikian indahnya budi pekerti yang luhur dan mulia guru mulia kita.

Lebah Bersholawat Kepada Nabi SAW

Pada suatu hari, Nabi Muhammad shollallahu ‘alayhi wasallam dan Amirul Mukminin sayyidina Ali kw duduk ditengah kebun kurma, lalu ada seekor lebah yang terbang disekeliling Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw berkata, “Wahai Ali tahukah apa yang dikatakan oleh lebah ini?”

Sayyidina Ali kw berkata, “Tidak.”

Nabi Muhammad saw Berkata, “Lebah ini hari ini mengundang kita sebagai tamunya, dan berkata bahwa dia telah menyediakan madu disuatu tempat,
kemudian diutuslah Amirul Mukminin untuk mengambilnya dari tempat itu.”

Amirul Mukminin bangkit dan mengambil madu dari tempat tersebut.

Nabi Muhammad shollallahu ‘alayhi wasallam kemudian berkata, ”Wahai lebah ! Makanan kalian berasal dari bunga-bunga yang pahit, lalu apa yang menyebabkan dia berubah menjadi madu yang manis?”

Lebah berkata, ”Wahai Rasulullah! Manisnya madu ini berkah sholawat kepada Anda dan keluarga Anda,karena setiap kali kami menghisap sari bunga, saat itu pula kami menerima ilham untuk bersholawat tiga kali kepada Anda. Dan ketika kami mengucapkan:

"Allahumma Sholli Ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad"
”Ya Allah limpahkanlah sholawatMu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad,”

Maka berkat shalawat kepada Anda itu, madu kami menjadi manis.”

Rasulullah bersabda: "PERBANYAKLAH MEMBACA SHALAWAT UNTUKKU PADA HARI & MALAM JUM'AT. BARANG SIAPA YANG MELAKSANAKANNYA, MAKA AKU AKAN MENJADI SAKSI & PEMBERI SYAFA'AT BAGINYA PADA HARI KIAMAT."

Semoga dengan memperbanyak sholawat pada jum'at ini kita akan mendapat syafaat kelak di hari kiamat sebagaimana hadist di atas.. Aamiin yaa Allah

Ya Hadi Sir Ruwaida

يَا حَا دِى سِر رُوَيدًا
 
 
يَا حَا دِى سِر رُوَيدًا    وَانشُد اَمَامَ الرَّكبِ
 
فِى رَكبِ لِى عُرَيبٌ     اَخَذُوا مَعَهُم قَلبِى
 
مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى
 
 
سَتَتُو نِى فِى البَوَادِى     اَخَذُوا مِنِّى فُؤَادِى
 
مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى
 
 
فَنحُ يَا حُوَيدَ العِيسِ     وَاَنزِل طَيبَةً بِالتَّقـدِ يسِ
 
تُحظَى المُنَى بِنَيلِ القُر بِ
 
 
رِفقًا رِفقًا بِى يَاحَا دِى     رِفقًا رِفقًا بِفُؤَا دِى
 
مَن لِى اِذَا اَخَذُوا لِى قَلبِى
 
 
وَتَاَ دَّب فِى حِمَا هُم     لاَوَلاَتَعشَق سِوَا هُم
 
فَهُمُ نِعمَ الشِّفَا لقَلبِى
 
 
يَااِلهِى يَا مُجِيبُ     فَبِطَيبَةَ لِى حَبِيبُ
 
اَرجُويَشفَعُ لِى مِن ذَ نبِى